Aku paling senang melihat senyuman manisnya. Senyuman khas anak kecil
yang polos dan lucu. Senyuman yang bisa membuat semua lelahku langsung
hilang dan berganti dengan sejuta sukacita. Namanya Anastasia Cecilia.
Aku sering memanggilnya dengan nama Cecil.
Kalo saja sore itu aku ngga nganterin pacarku ke salah satu Rumah
Sakit yang ada di daerah Tangerang, mungkin aku ngga akan kenal dia.
Mengenal Cecil merupakan salah satu anugerah bagi aku. Aku belajar
banyak hal dari dia. Belajar tentang hidup! Meski usianya baru 7 tahun.
Pacarku pernah cemburu karena aku keasyikan ngobrol dan bercanda
dengannya. Anaknya menyenangkan dan beda dari anak lainnya yang seusia
dengannya.
Aku sangat senang kalo harus bisa mengantar pacarku untuk mengikuti
terapi karena itu artinya aku bisa ketemu dengan Cecil. Meski di sisi
lain aku juga sedih karena pacarku ngga kunjung sembuh. Tapi paling ngga
dengan adanya Cecil, aku bisa melupakan sejenak kesedihanku itu.
Karena bete harus menunggu lama pacarku mengikuti terapi aku
memutuskan untuk minum secangkir kopi di warung yang ada di depan Rumah
Sakit. Di saat aku sedang menikmati secangkir kopi hangat, aku tanpa
sengaja melihat gadis belia yang kumuh sedang bermain air got. Dia hanya
sendiri.
“Hei, ngapain main air comberan?” tanya salah seorang penjual yang melihat aksinya.
Dia hanya menatap pemilik suara tersebut lalu berjalan menjauh. Dia
hanya sendiri. Hati kecil ku bertanya, “kemana orang tua anak ini?”
Dengan buru-buru aku menghabiskan sisa kopi yang masih tersisa lalu
membayar harga kopi itu dan langsung mengikuti langkah si bocah cantik
itu.
Dia berjalan dengan langkah yang semangat sambil bernyanyi riang dan
menari. Tiba-tiba dia berhenti dan menoleh ke arahku. Aku spontan
menghentikan langkah kakiku. Dia tersenyum manis. Lalu dia
menghampiriku.
“Kakak kenapa ikutin aku? Kakak mau lihat boneka aku ya? Nama kakak siapa?”
Astaga! Betapa ramahnya dia sama aku yang dia ngga kenal sama sekali. Apa dia ngga takut kalo aku penculik anak?
“Kakak!” Sapaannya membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum kepadanya. Dia memegang tanganku.
“Kakak, namanya siapa?” tanyanya dengan senyuman manis yang menimbulkan lesung pipi di ujung kedua sisi bibirnya.
“Kak Dewantara. Kamu bisa panggil kakak dengan nama…..”
“Tara?” potongnya cepat.
Aku hanya menganggukan kepalaku.
“Kakak mau ngga lihat bonekaku? Bonekaku lucu loh!”
“Emang bonekanya ada dimana?”
“Dirumah!”
“Kamu tinggal dimana?”
“Ikut aku aja kak. Nanti kakak akan tau! Maukan?” Ajaknya.
“Oke deh, tapi kakak ngga bisa lama-lama ya?”
“Okelah kalo begitu,” ucapnya sambil tertawa.
Aku berjalan berdampingan dengannya.
“Menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga….” suaranya yang merdu beralun menghiasi sore hari.
Aku terhenyak ketika melihat gubuk yang terbuat dari sisa seng bekas
dan kayu tua yang membentuk seperti kotak besar. Disanalah Cecil
tinggal bersama neneknya yang dimakan usia. Aku sendiri merasa itu bukan
rumah. Bayangkan tingginya hanya satu meter dan ukurannya hanya 2×3
meter.
“Kak, aku tinggal disini ama nenek.” ucapnya tanpa malu.
Entah kenapa aku menangis.
Dia masuk lalu keluar lagi dengan sebuah boneka beruang kecil berwarna coklat.
“Kak, ini bonekaku. Kalo aku bobo pasti ditemanin ama boneka ini.”
Aku menyentuh boneka itu yang penuh dengan debu. Terdengar dari dalam suara neneknya yang batuk.
Astaga! Nenek tua yang harusnya menikmati masa tuanya harus ada ditempat yang seperti ini?
Berjalan dengan waktu, aku baru tau ternyata Kedua orang tua Cecil
meninggal dunia karena kecelakaan. Dan dua bulan kemudian rumah mereka
harus digusur. Satu-satunya tempat berteduh adalah gubuk kecil yang
benar-benar tidak layak. Mereka hanya makan dari belas kasihan orang.
Aku memeluk Cecil. Di usianya yang masih kecil dia sudah harus
merasakan kerasnya hidup ini. Karena sudah terbiasa dengan yang
dialaminya makanya dia ngga merasa menderita. Dia menikmati apa yang
harus dijalaninya. Dia bernyanyi dan menari. Menghafal lagu dari
teman-temannya yang suka ngamen dan mereka tinggal ngga jauh dari gubuk
tempatnya tinggal.
*********
Tiga minggu kemudian.
“Cecil, mau sekolah ngga?”
“Mau!” jawabnya dengan mata yang bersinar-sinar.
Cecil yang ada dihadapanku jauh berbeda dari yang pertama kali aku
lihat. Dia suka mencium rambut panjangnya. Sejak aku membelikannya sabun
mandi dan sampo, dia tidak terlihat kumul lagi. Dia suka mencium
rambutnya yang berbau sampo. Sabun mandi dan sampo seperti barang yang
sangat berharga baginya. Aku tidak pernah bertanya, kapan terakhir kali
dia mandi dengan memakai sabun dan sampo. Minggu lalu aku mengajaknya ke
mal untuk membelikannya baju. Aku ngga mau memberikannya baju bekas
atau kata orang baju layak pakai. Karena aku merasa dia adalah adikku
sendiri. Hanya saja aku tidak bisa menampungnya karena orang tuaku tidak
mengizinkan.
“Tapi Cecil ngga punya pensil buat nulis?”
“Nanti kakak akan belikan untuk kamu.”
“Baju juga? Sepatu juga kan?”
“Iya!”
“Tas warna pink juga ya kak?”
“Pasti kakak belikan deh.”
“Janji?”
“Kakak janji!” kataku lalu kedua jari kelingking kami saling menyatu.
Aku memeluknya lalu kemudian memangkunya. Aku menceritakan cerita dongeng untuknya. Cerita dongeng yang tak pernah didengarnya.
“Cecil kapan sekolahnya?” tanyanya setelah aku selesai mendongeng.
“Bulan depan.”
“Kenapa ngga besok aja?”
Aku harus memutar otakku untuk mencari jawaban yang tepat.
“Karena sekolahnya baru buka pendaftaran bulan depan.”
“Pendaftaran itu apa kak?”
“Mhmmm…Pendaftaran itu nama kamu dicatat di buku.” jawabku dengan
kepala yang berat mencari kata-kata yang sederhana dan dimengerti
olehnya.
“Kakak…Kenapa aku ngga boleh tinggal ama kakak? Aku disini kalo malam dingin loh! Apa lagi kalo hujan.”
Astaga! Lagi-lagi aku menangis.
“Nanti kalau kakak punya rumah sendiri, kamu bisa tinggal sama kakak.”
“Kapan?”
“Satu saat nanti…”
“Ow…”
Kami diam dengan pikiran kami masing-masing.
“Kak, kapan aku bisa pegang pensil?”
“Untuk apa?”
“Aku udah ngga sabar lagi untuk belajar menulis.”
“Besok sore. Ok?”
“Janji ya? Bohong itu dosa loh!”
“Janji!”
Entah kenapa, aku senang bisa bersama dengan Cecil. Tapi yang pasti
aku bahagia bisa melihat senyumnya. Aku suka dengan kepolosannya.
**********
Keesokannya ketika aku menemani pacarku untuk ikut terapi seperti
biasanya tanpa sengaja aku melihat sosok gadis kecil yang aku kenal.
Gadis kecil yang sedang dibawa ke UGD. Aku mencoba memastikan apa yang
aku lihat.
Rasanya langit seperti runtuh dan menimpaku. Itu Cecil. Tangan
kanannya penuh dengan darah. Belakangan aku baru tau kalau dia
kecelakaan dan tangan kanannya terlindas ban truk sehingga dia harus
diamputasi.
Kantong plastik yang berisi tas pink dan perlengkapan tulis terlepas
dari tanganku. Masih terngiang dikepalaku percakapan kami kemaren.
“Kak, kapan aku bisa pegang pensil?”
“Untuk apa?”
“Aku udah ngga sabar lagi untuk belajar menulis.”
Ketika aku menjenguknya dengan pacarku keesokan harinya, aku melihat
tubuh mungilnya terbaring dengan lemah. Tangan kanannya yang buntung
dibalut perban. Betapa mirisnya hatiku melihat perban itu. Aku melihat
tubuhnya yang pucat dan menahan rasa sakit diantara selang infus yang
masih terpasang ditubuhnya.
Aku mengumpulkan semua kekuatanku hanya untuk menyapanya.
“Hallo, Cecil?”
Aku duduk di sisinya. Aku membelai rambutnya.
“Kak, tangan Cecil sakit sekali. Tangan Cecil kenapa dipotong? Kan Cecil mau nulis?”
Aku mencoba untuk menahan air mataku untuk tidak jatuh membasahi pipiku. Aku tidak boleh menangis didepan Cecil.
“Cecil pasti sembuh!” kata pacarku mencoba menghiburnya.
“Kalo Cecil sembuh itu artinya tangan Cecil tumbuh lagi ya?”
Pacarku yang berdiri dibelakangku memegang erat pundakku. Hanya Tuhan yang tau betapa perihnya hati ini melihat keadaan Cecil.
“Iya, Cecil lupa. Cecilkan bisa menulis pakai tangan kiri.” Ucapnya dengan senyuman.
Aku tidak bisa menahan air mataku untuk tidak jatuh. Aku juga
merasakan tetesan air mata pacarku jatuh membasahi bahuku. Aku ngga bisa
membayangkan kalo aku mengalami apa yang dialaminya. Aku mungkin bisa
gila! Tapi berbeda dengan Cecil. Dia tetap optimis meski dia sendiri
tidak tau arti optimis itu apa.
“Nanti kakak akan ajarin kamu menulis ya!”
“Kapan?” tanyanya.
“Kalau kamu sembuh nanti.”
“Kakak, udah belikan aku pensil?”
“Udah. Warnanya warna pink loh!”
“Kakak kenapa menangis? Aku aja yang kecil ngga nangis.”
Aku cepat-cepat menghapus air mataku demikian juga pacarku.
“Aku mau nyanyi untuk kakak, bolehkan?”
Aku hanya menganggukan kepala lalu mengalunlah sebuah lagu milik Baim dan Melly Goeslaw dari bibirnya.
Awan Awan Menghitam
Langit runtuhkan dunia
Saat aku tahu ternyata akhir ku tiba
Mengapa semua menangis
Padahal ku selalu tersenyum
Usap air matamu
Aku tak ingin ada kesedihan
Burung sampaikan nada pilu
Angin terbangkan rasa sedih
Jemput bahagia diharinya
Berikan dia hidup
Tuhan terserah mau-Mu
Aku ikut mau-Mu Tuhan
Ku catat semua ceritaku
Dalam harianku
************
TAMAT
skip to main |
skip to sidebar
God is the author of your life. Trust Him with the pen.
Rabu, 11 Juni 2014
Kursor
Feedjit
Total Pageviews
Pages
Diberdayakan oleh Blogger.
Popular Posts
-
Haiii long time no see, and how are you today? Engga kerasa sudah hampir beberapa bulan ini saya tidak ngepost di blog ini, karena saya sib...
-
Semakin banyak komunitas Kristen yang mempunyai visi untuk mendapatkan jodoh Tapi kenapa justru semakin banyak aku jumpai baik Pria/Wanita ...
-
halooo.. i'm back again, kali ini gue pengen membagi sedikit pengetahuan gue tentang sebuah novel Sherlock Holmes. siapa sih yang tidak ...
About Me
- dychandra
0 komentar:
Posting Komentar